mengasah keterampilan merajut kata menyulam cipta

Kamis, 18 Januari 2018

Meniru, Cara Jitu Belajar Menulis #1

Ingatkah kita, bagaimana dahulu kita belajar--dan akhirnya berhasil--mengucapkan kata "mimik"? Tentu, tidak ingat. Kalau ada yang ingat, pasti dia bayi ajaib! Baiklah, normalnya kita tidak diberi kemampuan untuk mengingat pengalaman pada masa awal kehidupan kita. Namun, setidaknya kita bisa mengamati cara anak-anak atau adik-adik kita atau tetangga kita belajar berbicara.

Meniru. Ya, meniru itulah satu-satunya cara memperoleh bahasa pertama kita, dan biasanya model utama yang kita tiru adalah ibu kita. Oleh sebab itulah, barangkali, bahasa yang pertama diperoleh manusia kemudian disebut bahasa ibu. Dalam bahasa Inggris, sebutannya lebih vulgar: mother tongue (lidah ibu). Hebatnya, tidak ada ibu--atau sosok lain pengganti perannya--yang gagal mengajarkan bahasa kepada anak-anaknya, kecuali salah satu atau kedua pihak mengalami gangguan organ bicara.

Meniru. Ya, cara itu dapat kita adopsi dalam belajar menulis. Mula-mula kita meniru tulisan orang lain: penulis mahir, tentu. Ingin belajar menulis cerpen, misalnya, kita mulai dengan membaca cerpen karya seorang cerpenis favorit kita. Kita cermati gaya, teknik, dan alur penulisannya. Kita nobatkan cerpen tersebut sebagai model. Kemudian kita gali ide cerita dengan tema serupa, dan ... mulai menulis. Kita ikuti saja alur cerita model. Ingat, kita meniru, bukan menyalin! Tentu, kita mesti mengganti unsur-unsur ceritanya, seperti tokoh dan penokohan serta latar.

Rehat Sejenak
Yuk, kita cermati contoh penggalan introduksi cerpen berikut.
-----------------------------------------------------------------------------------------------
Gelap. Matahari sudah tenggelam sempurna. Tak ada tanda-tanda kehadiran manusia. Yang terdengar hanya kerik jangkrik berbaur dengan suara beraneka binatang nokturnal. Entah sengaja atau tidak, tingkah mereka menghadirkan orkestra malam. Harmonis. Damai.

Namun, tak demikian riak batin Rani. Segala energi negatif berjubel, saling menindih, menyesaki relung hatinya. Jengkel kepada ibu mertua belum reda. Frustrasi terhadap sikap cuek suaminya masih terpatri. Sementara, kesendiriannya dalam kegelapan malam di tengah hutan belantara menancapkan rasa takut yang makin menghunjam. Penyesalan pun mulai merasuk. Kenapa dia tadi memilih lokasi ini untuk lari melepaskan sesak rasa yang berhari-hari menyiksanya di rumah?

Dugaannya meleset. Dia berharap, suaminya akan segera menyusulnya begitu gagal mendapatinya di rumah sepulang dari ladang. Biasanya Kang Ranto, suaminya, pulang menjelang matahari terbenam dan selalu mendapatinya tengah sibuk menyiapkan teh panas untuknya di dapur. Perkiraannya, sore tadi pun Kang Ranto datang hanya beberapa saat setelah ia pergi meninggalkan rumah. Pikirnya, demi mendapati dapur sepi tanpanya, Kang Ranto akan bertanya kepada ibunya, yang pasti menjawab tidak tahu. Ditunggu hingga matahari tenggelam dirinya tak kunjung muncul, Kang Ranto akan mencari tahu ke para tetangga. Dia yakin, sejumlah orang yang tadi melihat dan sempat menyapanya ketika berpapasan di jalan setapak menuju hutan ini akan menunjukkan arah pelarianku. Dijamin, suaminya akan menemukannya. Rani tidak menjumpai satu pun persimpangan di sepanjang jalan setapak yang dia lalui tadi.

Ah, sayangnya, semua itu hanya singgah sebatas khayalan belaka. Nyatanya, hingga menjelang tengah malam Rani masih bersimpuh seorang diri di tengah kesunyian rimba. Keraguan mulai hinggap di jiwanya. Jangan-jangan, Kang Ranto sebenarnya tidak mencintainya? Atau, ia begitu takut untuk membantah titah ibunya yang melarang ia menyusul istrinya? Atau, para tetangga sengaja tidak memberitahu Kang Ranto ke arah mana Rani pergi? Bisa saja mereka iba terhadap penderitaan hidup menumpang di rumah mertua yang dialami Rani, lalu membiarkan perempuan yatim piatu itu melepaskan diri dari Ranto yang belum genap dua pekan menikahinya.

Pupus sudah, harapan Rani untuk disusul suaminya. Malam semakin kelam dan sunyi. Segenap binatang malam sudah lelah menyuguhkan orkestrasi musik klasik pengiring jiwa gulana yang tak tentu si upik si buyungnya. Tinggal pasukan nyamuk hutan yang makin garang menyerbu setiap penjuru kulit Rani yang tak terlindungi pakaian yang dikenakan.

Rasa letih dan kantuk tak terelakkan. Itu pasti. Namun, sepasang mata Rani tak kunjung terpejam. Ada serangan hawa dingin menusuk tulang, resonansinya menggetarkan rahang. Ujung-ujung gigi atas dan bawah pun saling bertumbuk, kian lama kian kencang. Segenap indra masih setia meronda, mewaspadai setiap tengara di sekelilingnya.

Sepasang telinganya menangkap gemerisik dedaunan kering seperti tertimpa benda tumpul bergantian. Makin lama makin keras, menandakan sumber suara bergerak mendekatinya. Rani mulai mempertimbangkan dua pilihan: lari menjauh untuk menghindari ancaman bahaya atau bergeming sambil menumbuhkan kembali harapan akan datangnya pertolongan.
-----------------------------------------------------------------------------------------------
Nah, kita jadikan tulisan di atas sebagai model (layak atau tidak, tak usah dipikir). Sekarang kita mulai menirunya. Jangan lupa untuk mengganti nama-nama tokohnya. Rani menjadi Rina, Kang Ranto menjadi Bung Ratno, atau suka-suka kita. Latar waktunya bisa diganti menjadi pagi, siang, atau sore. Latar tempat bisa dimodifikasi menjadi taman, pantai, hotel, atau apa saja. Latar sosialnya pun bisa dibongkar, misal: Rina seorang selebritas yang lagi naik daun (tak usah dipikir, daunnya robek atau tidak), sedangkan Bung Ratno anak petinggi negara yang masih menganggur. Tema boleh sama: romantika pasangan pengantin baru.

Tak perlu malu-malu! Kalau sudah selesai, tulisan imitasi itu bisa kita kirim ke pos-el papantulisqta@gmail.com untuk dipampang di halaman Cerita pada Papan Tulis Kita ini.

Selamat berkarya!
Share:

0 comments:

Posting Komentar

Tembe Krasa #3 (Cerkak)

Ora krasa wis kliwat Nguter. Nyumurupi plengkung “Selamat Datang” ing gapura kikis kabupatèn, kaya disengkakaké anggoné Pak Didik...

Translate

Wikipedia

Hasil penelusuran

dari Catatan Kang Gw

dari Bale Sinau

Teman Pantulkit