mengasah keterampilan merajut kata menyulam cipta

  • Sampul Buku Antologi Puisi "Sang Dwija"

    Buku ini berisi antologi puisi, gurit (puisi berbahasa Jawa), dan Macapat (jenis tembang Jawa) karya 12 alumni SPG Negeri Wonogiri. Semuanya mengungkapkan refleksi atas tragedi yang menimpa Ahmad Budi Cahyono, guru muda di tanah Madura yang meregang nyawa akibat ulah beringas seorang muridnya.

  • Infografis Pidato Mendikbud pada HGN 2019

    Pidato Mendikbud Nadiem Makarim pada Hari Guru Nasional 2019 mendapat apresiasi secara luas.

  • Tembe Krasa

    Apa aku pantes sinebut anak sing saleh? Apa isih kurang sih tresnane Gusti marang Bapak? Apa tandha yekti tresna lan bektiku marang Bapak?

  • This is default featured slide 4 title

    Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

  • This is default featured slide 5 title

    Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Sabtu, 20 Januari 2018

Ketam Macet

Kemarin (19/01/2018) saya meminjam mesin ketam/serut (Jawa: pasah; Inggris: planer). Sampai di rumah, ketam saya coba. Steker saya colokkan ke stopkontak. Ketam saya angkat. Sakelar saya pencet, tanpa menimpakan ketam ke kayu. Terdengar bunyi gir berputar kencang, tetapi roda pisau diam tak bergerak. Sejenak kemudian keluar asap dari celah rumah katrol. Steker saya cabut dari stopkontak. Rumah katrol saya buka. Dan ... owh, fan belt-nya terbakar! Meleleh.

Guguplah saya. Jujur, saya tidak paham seluk beluk mesin ketam elektrik itu. Sebelumnya baru satu kali saya menggunakan alat serupa. Jadi, kali ini akan menjadi pengalaman yang kedua. Saya terdiam sejenak, mencoba menduga-duga apa yang terjadi pada mesin pinjaman itu. Spekulasi saya, rantai karet itu terbakar karena tidak kuat menahan beban. Gir penggeraknya terus berputar kencang, sementara poros roda pisau yang ditariknya tidak mau turut berputar.

Sembari menunggu fan belt dingin agar bisa dibersihkan, saya coba memutar roda pisau dengan tangan. Nihil. Roda tak mau berputar. Sepertinya ada yang menahan kuat-kuat. Saya kendurkan pelat depan. Roda pisau saya coba putar lagi. Belum berubah. Masih macet. Pelat saya setel lebih kendur lagi. Roda mulai mau diputar, tapi seret. Akhirnya, pelat saya lepaskan dari blok mesin. Aha, ... ketemu-lah biangnya! Rupanya lintasan pisau terhalang oleh kerak tebal yang menempel pada lengkungan pelat. Buktinya, roda pisau bisa berputar lancar ketika pelat depan itu hengkang dari posisinya.

Kerak saya coba bersihkan dengan jari jemari. Gagal. Justru kuku-kuku saya yang terkelupas ujungnya. Akhirnya saya pakai sekrap untuk mengikis timbunan limbah padat yang sudah mengeras itu. Belum bersih sempurna. Masih perlu finishing. Sikat gigi bekas pun turut berjasa. Setelah dicelup dengan bensin, bulu-bulunya berhasil menjadi senjata pamungkas. Permukaan lengkung itu pun kembali mulus.

Pelat depan ketam saya pasang kembali. Roda pisau saya putar dengan tangan. Serrr ... roda berputar mulus bagaikan tak mau berhenti. Tibalah giliran untuk membersihkan sisa-sisa lelehan fan belt yang menempel di rumah poros. Cukup digosok dengan gombal berlumur bensin ... cling! Karena hari sudah gelap, saya harus menunggu terang esok hari untuk mencari ganti fan belt yang hangus terbakar, korban keganasan kerak jahat.

-----------------------------------------

Begitulah organisasi. Organnya banyak dan beragam. Ada motor penggerak poros gir. Gir berputar menggerakkan fan belt. Secara simultan fan belt menarik gir, poros, dan roda pisau. Bilah pisau berputar mengikuti putaran rodanya dan menyerut permukaan kayu yang dilaluinya. Ada pelat belakang untuk memastikan kerataan permukaan kayu yang diketam. Ada pelat depan yang bisa diatur untuk menentukan ketebalan ketam. Ada cerobong untuk membuang serpihan kayu hasil serutan, yang ditiup oleh kipas blower. Ada gagang untuk pegangan tangan operator, yang dilengkapi dengan sakelar untuk penghubung dan pemutus arus listrik. Ada kabel daya yang dilengkapi dengan steker untuk menjemput arus listrik dari sumber dayanya. Tapi ingat, semua organ itu tidak akan berfungsi sebagai alat perata dan penghalus permukaan kayu jika tidak dirangkai menjadi satu kesatuan yang padu pada blok ketam. Nah, di situlah kita tidak boleh mengabaikan peran baut-baut pengikatnya.

Begitulah organisasi. Himpunan banyak orang bisa disebut organisasi kalau ada pengaturan peran dan fungsi tiap-tiap organ yang terlibat. Masing-masing punya kedudukan dan tugas yang berbeda, namun saling memengaruhi. Bahan, bentuk, dan matranya tidak sama dan masing-masing memerlukan tempat (kedudukan) yang memungkinkan mereka bekerja sesuai dengan kapasitasnya. Yang tidak boleh dilewatkan, organ-organ itu membutuhkan perawatan saksama agar dapat menjalankan peran dan fungsinya secara optimal.

Begitulah organisasi. Mari, belajar berorganisasi dari mesin ketam yang macet.
Share:

Kamis, 18 Januari 2018

Meniru, Cara Jitu Belajar Menulis #1

Ingatkah kita, bagaimana dahulu kita belajar--dan akhirnya berhasil--mengucapkan kata "mimik"? Tentu, tidak ingat. Kalau ada yang ingat, pasti dia bayi ajaib! Baiklah, normalnya kita tidak diberi kemampuan untuk mengingat pengalaman pada masa awal kehidupan kita. Namun, setidaknya kita bisa mengamati cara anak-anak atau adik-adik kita atau tetangga kita belajar berbicara.

Meniru. Ya, meniru itulah satu-satunya cara memperoleh bahasa pertama kita, dan biasanya model utama yang kita tiru adalah ibu kita. Oleh sebab itulah, barangkali, bahasa yang pertama diperoleh manusia kemudian disebut bahasa ibu. Dalam bahasa Inggris, sebutannya lebih vulgar: mother tongue (lidah ibu). Hebatnya, tidak ada ibu--atau sosok lain pengganti perannya--yang gagal mengajarkan bahasa kepada anak-anaknya, kecuali salah satu atau kedua pihak mengalami gangguan organ bicara.

Meniru. Ya, cara itu dapat kita adopsi dalam belajar menulis. Mula-mula kita meniru tulisan orang lain: penulis mahir, tentu. Ingin belajar menulis cerpen, misalnya, kita mulai dengan membaca cerpen karya seorang cerpenis favorit kita. Kita cermati gaya, teknik, dan alur penulisannya. Kita nobatkan cerpen tersebut sebagai model. Kemudian kita gali ide cerita dengan tema serupa, dan ... mulai menulis. Kita ikuti saja alur cerita model. Ingat, kita meniru, bukan menyalin! Tentu, kita mesti mengganti unsur-unsur ceritanya, seperti tokoh dan penokohan serta latar.

Rehat Sejenak
Yuk, kita cermati contoh penggalan introduksi cerpen berikut.
-----------------------------------------------------------------------------------------------
Gelap. Matahari sudah tenggelam sempurna. Tak ada tanda-tanda kehadiran manusia. Yang terdengar hanya kerik jangkrik berbaur dengan suara beraneka binatang nokturnal. Entah sengaja atau tidak, tingkah mereka menghadirkan orkestra malam. Harmonis. Damai.

Namun, tak demikian riak batin Rani. Segala energi negatif berjubel, saling menindih, menyesaki relung hatinya. Jengkel kepada ibu mertua belum reda. Frustrasi terhadap sikap cuek suaminya masih terpatri. Sementara, kesendiriannya dalam kegelapan malam di tengah hutan belantara menancapkan rasa takut yang makin menghunjam. Penyesalan pun mulai merasuk. Kenapa dia tadi memilih lokasi ini untuk lari melepaskan sesak rasa yang berhari-hari menyiksanya di rumah?

Dugaannya meleset. Dia berharap, suaminya akan segera menyusulnya begitu gagal mendapatinya di rumah sepulang dari ladang. Biasanya Kang Ranto, suaminya, pulang menjelang matahari terbenam dan selalu mendapatinya tengah sibuk menyiapkan teh panas untuknya di dapur. Perkiraannya, sore tadi pun Kang Ranto datang hanya beberapa saat setelah ia pergi meninggalkan rumah. Pikirnya, demi mendapati dapur sepi tanpanya, Kang Ranto akan bertanya kepada ibunya, yang pasti menjawab tidak tahu. Ditunggu hingga matahari tenggelam dirinya tak kunjung muncul, Kang Ranto akan mencari tahu ke para tetangga. Dia yakin, sejumlah orang yang tadi melihat dan sempat menyapanya ketika berpapasan di jalan setapak menuju hutan ini akan menunjukkan arah pelarianku. Dijamin, suaminya akan menemukannya. Rani tidak menjumpai satu pun persimpangan di sepanjang jalan setapak yang dia lalui tadi.

Ah, sayangnya, semua itu hanya singgah sebatas khayalan belaka. Nyatanya, hingga menjelang tengah malam Rani masih bersimpuh seorang diri di tengah kesunyian rimba. Keraguan mulai hinggap di jiwanya. Jangan-jangan, Kang Ranto sebenarnya tidak mencintainya? Atau, ia begitu takut untuk membantah titah ibunya yang melarang ia menyusul istrinya? Atau, para tetangga sengaja tidak memberitahu Kang Ranto ke arah mana Rani pergi? Bisa saja mereka iba terhadap penderitaan hidup menumpang di rumah mertua yang dialami Rani, lalu membiarkan perempuan yatim piatu itu melepaskan diri dari Ranto yang belum genap dua pekan menikahinya.

Pupus sudah, harapan Rani untuk disusul suaminya. Malam semakin kelam dan sunyi. Segenap binatang malam sudah lelah menyuguhkan orkestrasi musik klasik pengiring jiwa gulana yang tak tentu si upik si buyungnya. Tinggal pasukan nyamuk hutan yang makin garang menyerbu setiap penjuru kulit Rani yang tak terlindungi pakaian yang dikenakan.

Rasa letih dan kantuk tak terelakkan. Itu pasti. Namun, sepasang mata Rani tak kunjung terpejam. Ada serangan hawa dingin menusuk tulang, resonansinya menggetarkan rahang. Ujung-ujung gigi atas dan bawah pun saling bertumbuk, kian lama kian kencang. Segenap indra masih setia meronda, mewaspadai setiap tengara di sekelilingnya.

Sepasang telinganya menangkap gemerisik dedaunan kering seperti tertimpa benda tumpul bergantian. Makin lama makin keras, menandakan sumber suara bergerak mendekatinya. Rani mulai mempertimbangkan dua pilihan: lari menjauh untuk menghindari ancaman bahaya atau bergeming sambil menumbuhkan kembali harapan akan datangnya pertolongan.
-----------------------------------------------------------------------------------------------
Nah, kita jadikan tulisan di atas sebagai model (layak atau tidak, tak usah dipikir). Sekarang kita mulai menirunya. Jangan lupa untuk mengganti nama-nama tokohnya. Rani menjadi Rina, Kang Ranto menjadi Bung Ratno, atau suka-suka kita. Latar waktunya bisa diganti menjadi pagi, siang, atau sore. Latar tempat bisa dimodifikasi menjadi taman, pantai, hotel, atau apa saja. Latar sosialnya pun bisa dibongkar, misal: Rina seorang selebritas yang lagi naik daun (tak usah dipikir, daunnya robek atau tidak), sedangkan Bung Ratno anak petinggi negara yang masih menganggur. Tema boleh sama: romantika pasangan pengantin baru.

Tak perlu malu-malu! Kalau sudah selesai, tulisan imitasi itu bisa kita kirim ke pos-el papantulisqta@gmail.com untuk dipampang di halaman Cerita pada Papan Tulis Kita ini.

Selamat berkarya!
Share:

Rabu, 17 Januari 2018

Pelangi untuk Jingga

Pada LMCA 2012 tim juri menetapkan 13 cerpen terbaik sebagi pemenang. Salah satunya adalah Pelangi untuk Jingga, yang dijadikan judul antologinya.

Bukunya dapat diunduh di sini.
Share:

Cerita Pohon Jati

Sejak 2011 Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Ditjen Dikdas Kemdikbud) menyelenggarakan lomba menulis cerita untuk pelajar SD/MI dan SMP/MTs. Untuk anak-anak SD/MI, lombanya bertajuk Lomba Menulis Cerita Anak (LMCA). Sedangkan untuk siswa-siswi SMP/MTs, tajuknya Lomba Menulis Cerita Remaja (LMCR).

Tim juri, yang beranggotakan 10 orang dan diketuai oleh maestro sastra Taufiq Ismail, memilih 15 cerpen terbaik dari seluruh naskah yang diterima untuk masing-masing kategori. Cerita Pohon Jati merupakan judul cerpen yang dinobatkan sebagai pemenang I LMCA, yang kemudian diangkat sebagai judul buku antologi bersama 14 cerpen lainnya. Cerita Pohon Jati ditulis oleh Nathania Sarita, siswa SD Katholik Karya Yosef 5 Pontianak (waktu itu).

Buku antologinya dapat diunduh di sini.
Share:

Terkasih (kumpulan puisi)

Jiwaku layangkan khayal
Terbersit siluet wajah nan rupawan
Temaram malamku menjadi hening
Cakrawala seakan berhenti berrotasi

Empat baris syair di atas adalah petikan bait ke-1 puisi Terkasih karya Annisa Nur Arofah yang kemudian dijadikan judul buku kumpulan pisinya. Selain Terkasih, buku ini memuat 20 judul lainnya.

Baca atau unduh Terkasih
Share:

Belajar Menulis, Lalu Menulis, dan Menulislah

Pernahkah kita memperhatikan bayi yang tengah belajar berjalan? Adakah seminar, workshop, diklat, atau sekadar serangkaian petunjuk teknis yang ia ikuti sebelum mulai belajar berjalan? Tak! Ia langsung mencoba berjalan begitu saja. Gagal? Sering! Lalu? Nekat terus! Akhirnya? Berhasil! Puas? Tak! Lalu? Lari, melompat, salto, dan seterusnya.
Begitu pulalah semestinya kita belajar menulis. Kalau tidak percaya, ayo, kita simak tulisan Abdul Halim Fathani yang merupakan bagian dari buku Quantum Belajar: Membangun Gelora untuk Bahagia.

Membaca atau mengunduh artikel
Share:

Menulis: Kerja Jiwa

Kekeringan ide menjadi biang kegagalan menulis?
"Sama sekali bukan itu penyebabnya," sanggah Dwi Budiyanto, mengawali paparannya dalam makalah untuk Pelatihan Menulis di TB-KB-TKIT Salman Al-Farisi 2 Yogyakarta, 8-9 November 2014. Lebih lanjut, dosen di Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) itu menuturkan, "Lurusnya motiflah yang menjadikan seseorang mampu menuangkan ide dengan baik. Mereka yang mengawali dari niat yang benar akan lebih mudah untuk menghasilkan karya yang inspiratif. Sebaliknya, bermula dari motif yang kurang benar, hambatan-hambatan menulis itu akan datang menghadang."

Lanjut membaca atau mengunduh makalah
Share:

Hakikat Menulis

Ketika gagal menulis, mungkin kita akan serta merta menyerah, "Memang saya tidak berbakat!"
Benarkah bakat menjadi syarat mutlak untuk bisa menulis? Atau, pertanyaannya bisa diubah: "Adakah manusia yang dilahirkan tanpa bakat menulis?"
Mengutip pandangan sejumlah penulis terkemuka, Mohamad yunus memberikan jawaban, "Siapa pun bisa menulis atau mengarang! Bukan bakat yang menentukan. Minat, antusiasme, dan kesanggupan untuk terus berlatihlah yang membuat seseorang berhasil sebagai penulis."
Pernyataan tersebut bisa kita jumpai dalam tulisannya, Hakikat Menulis. Dokumen ini disiapkan sebagai modul mata kuliah Keterampilan Menulis untuk mahasiswa Pendidikan Guru Sekolah Dasar (PGSD). Seperti lazimnya, modul ini dilengkapi dengan soal-soal tes.

Membaca atau mengunduh modul
Share:

Senin, 15 Januari 2018

Menanti Reformasi Pendidikan Guru *)

"Gawat Darurat Pendidikan di Indonesia." Demikian judul paparan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Anies R. Baswedan, yang disampaikan dalam silaturahmi Kementerian dengan para kepala dinas pendidikan provinsi dan kabupaten/kota se-Indonesia yang berlangsung di Jakarta, 1 Desember 2014. Setelah membuka sederet potret kinerja pendidikan—yang membanggakan maupun yang memprihatinkan—Menteri mengakhiri paparannya dengan skema evakuasi pendidikan dari kondisi gawat darurat.

Di dalam skema tersebut reformasi pendidikan guru tercantum sebagai salah satu program jangka panjang. Ada apa dengan sistem pendidikan guru di lembaga-lembaga pendidikan tenaga kependidikan (LPTK) di negeri ini? Adakah kontribusinya terhadap keadaan gawat darurat yang menimpa dunia pendidikan kita? Bagaimana format reformasi yang diharapkan mampu mengentaskan LPTK sendiri beserta segala dampaknya dari kondisi gawat darurat?

Disorientasi Kompetensi

Salah satu potret buram pendidikan kita, yang juga diungkap dalam paparan Menteri adalah hasil uji kompetensi guru (UKG) tahun 2012. Nilai rata-rata yang dicapai oleh 460.000 guru peserta UKG pada tahun itu adalah 44,5. Dari data ini dapat disimpulkan bahwa rata-rata LPTK gagal menghasilkan guru kompeten.

Fenomena ini juga mencerminkan bahwa peningkatan kualifikasi akademik guru tidak berkorelasi positif terhadap peningkatan kompetensi mereka. Peserta UKG 2012 adalah guru-guru yang sudah bersertifikat profesi pendidik. Artinya, mereka memenuhi standar kualifikasi akademik S1 atau D4. Bahkan, tidak sedikit di antara mereka adalah lulusan pascasarjana, S2 atau S3. Lebih jauh lagi, temuan ini dapat ditafsirkan bahwa sertifikasi guru belum menampakkan dampak nyata terhadap peningkatan kompetensi mereka.

Itu baru hasil ujian tulis. Hasil itu bisa jadi semakin rendah bila dilakukan penilaian kinerja beraksi dalam kegiatan pembelajaran. Indikasinya dapat dirunut pada perubahan kurikulum yang jedanya tergolong terlalu singkat. Keresahan terhadap Kurikulum 2013 yang baru memasuki tahun kedua implementasi semakin memperkuat indikasi tersebut.

Pada tataran idealisme, sulit untuk menemukan kelemahan paradigma di dalam kurikulum yang telah dan sedang diberlakukan di negeri ini. Lalu di mana letak kelemahan kurikulum-kurikulum itu? Dapat ditebak, bagi kurikulum yang sudah menghasilkan lulusan, kelemahannya tampak dari mutu lulusannya. Sedangkan bagi kurikulum yang tengah diberlakukan, kelemahannya terasa pada kesulitan di dalam implementasinya.

Lokus kelemahan itulah yang membentuk alur kritik terhadap kurikulum selalu berpola sama. Pada awal pemberlakuan kurikulum baru, kritik (baca: keluhan) bergaung santer di akar rumput, kalangan pelaksana di sekolah. Setelah gema keluhan itu surut, giliran kaum pengembang kurikulum yang sibuk mengutak-atik desain pengganti kurikulum pendahulunya. Apakah ketika guru berhenti mengeluh itu berarti mereka sudah berhasil beradaptasi terhadap tuntutan kurikulum? Justru sebaliknya, kurikulumlah yang sudah berhasil ditaklukkan untuk beradaptasi dengan kebiasaan guru. Artinya, tuntutan untuk menghadirkan praktik pembelajaran sesuai dengan kehendak kurikulum itu sudah terlupakan. Terjadi demikian karena supervisi kurikulum sudah bisa memaafkan keadaan, tidak segalak pada masa awal implementasi.

Reformasi Komprehensif

Kritik atas kelemahan sistem pendidikan guru sebenarnya sudah lama terdengar. Salah satu kritikus produktif adalah Mochtar Buchori, yang selama dekade 1980-an—melalui artikel di sejumlah media massa dan makalah untuk berbagai forum ilmiah—gencar melontarkan gagasan reformasi pendidikan guru. Sepenggal tulisannya di dalam sebuah makalah tertanggal 20 Juli 1989 menyatakan bahwa ilmu keguruan belum menyatu dengan bidang spesialisasi program studi yang dipilih mahasiswa LPTK. Calon guru bahasa Inggris, misalnya, tidak tahu etos bagaimana yang dapat dipupuk, keterampilan apa yang dapat diberdayakan, dan nilai-nilai apa yang dapat dirangsang pertumbuhannya melalui pelajaran bahasa Inggris. Spesialisasi jurusan atau program studi yang ditempuh mahasiswa calon guru tidak dipandang sebagai spesialisasi pengajaran, melainkan sebagai spesialisasi keilmuan.

Lebih lanjut dalam makalah tersebut, doktor di bidang perencanaan pendidikan lulusan Universitas Harvard itu menyampaikan sinyalemen, “Kalau situasi semacam ini dibiarkan berkembang terus, ... kesudahannya akan sangat menyedihkan. Guru-guru kita akan menjadi serba tanggung: ahli bukan, pendidik pun tidak! Neither fish nor meat, ….”

Bukankah hasil UKG 2012—yang  oleh Menteri Anies Baswedan disebut sebagai salah satu berita buruk pendidikan kita—itu membenarkan sinyalemen di atas? Lalu, cukupkah kita memandang hal ini sebagai potret buram guru semata? Bagaimana potret LPTK yang memproduksi mereka?

Menteri Anies tampaknya cukup jeli mendeteksi hulu masalah mutu pendidikan kita, yakni sistem pendidikan guru. Barangkali ia hendak mengambil pelajaran dari Finlandia. Selama lebih dari satu dasawarsa terakhir, Finlandia mendominasi peringkat puncak dalam berbagai survei international untuk mengukur tingkat pencapaian kompetensi siswa dalam literasi sains, matematika, dan membaca. Tak ayal, mata dunia—termasuk negara adidaya sekelas Amerika Serikat—mulai rajin melirik negeri damai dan ramah imigran itu untuk mengintip rahasia di balik performa pendidikannya yang gemilang.

Dari sejumlah riset, yang kebanyakan dilakukan oleh pihak di luar Finlandia, diperoleh temuan bahwa salah satu faktor penentu keberhasilan mereka adalah guru. Anehnya, di sana hampir tidak ada aktivitas penilaian terhadap guru-guru hebat itu. Di semua kalangan pemangku otoritas pendidikan ada afirmasi yang sangat populer: "In teachers we trust." Bandingkan dengan di negara kita, yang sebentar-sebentar guru harus menjalani ritual penilaian dengan setumpuk berkas instrumennya yang turut mempercepat laju penyusutan hutan titipan anak cucu kita!

Lalu apa yang membuat kinerja guru-guru di Finlandia tetap prima tanpa penilaian eksternal itu? Tak ada alasan untuk menampik kesimpulan meyakinkan: pasti, itu adalah hasil dari sistem “produksi” yang andal. 

Semoga, minat Pemerintah untuk mengadopsi sistem pendidikan guru rancangan Finlandia tidak kalah besar dari animo masyarakat kita dalam memakai telepon seluler keluaran negeri Skandinavia itu.

*) Tulisan ini pernah ditawarkan kepada Harian Kompas dan, alhamdulillah, dikembalikan kepada Penulis.
Share:

Pedoman Ejaan Bahasa Jawa

Lengkapnya, buku ini berjudul Pedoman Umum Ejaan Bahasa Jawa Huruf Latin yang Disempurnakan. Karya Balai Bahasa Yogyakarta yang diterbitkan oleh Penerbit Kanisius ini merupakan edisi revisi dari buku dengan judul sama yang terbit pada 1991, menjelang Kongres Bahasa Jawa I di Semarang.

Isi dan sistematika penulisannya menyerupai Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia. Sayangnya, Pantulkit belum menjumpai dokumennya yang asli dalam format pdf. Dokumen yang dapat kita bagikan ini merupakan konversi dari hasil scan edisi cetak, yang diunggah di situs Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kemdikbud.

Lanjut ke Pedoman Ejaan Bahasa Jawa
Share:

Minggu, 14 Januari 2018

Wewaton Panulise Basa Jawa nganggo Aksara Jawa

S. Padmosoekotjo merupakan salah seorang dari sedikit orang Jawa yang produktif menulis buku-buku tentang kaidah bahasa Jawa. Wewaton Panulise Basa Jawa nganggo Aksara Jawa adalah salah satu karya monumental beliau. Pantulkit belum menjumpai buku panduan penulisan huruf Jawa selengkap ini. Buku ini diterbitksan oleh PT Citra Jaya Murti, Surabaya pada 1984 dan sampai 1987 telah mengalami tiga kali cetak ulang. Entah, masih ada cetakan yang lebih baru setelah itu atau tidak, yang pasti cetakan asli buku ini sudah langka di pasaran.

Beruntung, ada pihak-pihak yang berbaik hati merawat buku tersebut melalui digitalisasi, terlepas dari keabsahannya terkait hak cipta. Pantulkit menemukan dua dokumen: (1) buku-el hasil pengetikan ulang (sekaligus di-pdf-kan) oleh Suhadi Jogja dan (2) berkas Wikisource. Dibanding berkas Wikisource, karya Suhadi Jogja lebih nyaman dibaca karena sudah didesain sebagai buku elektronik. Namun, sayangnya, terjadi misfont di beberapa bagian.

Lanjut ke versi Suhadi Jogja
Lanjut ke versi Wikisource
Share:

Oxford Practice Grammar (Second Edition)

Sasaran buku yang ditulis oleh John Eastwood ini adalah pelajar bahasa Inggris tingkat intermediate. Edisi revisi yang terbit pada 1999 ini dilengkapi dengan tes dan kunci jawaban. Ini menjadi pembeda utama dari edisi perdana yang terbit tujuh tahun sebelumnya, 1997.

Oxford Practice Grammar berisi 153 unit, masing-masing mencakup satu topik gramatikal. Buku ini dapat dipakai secara fleksibel, tidak harus urut dari depan. Pembaca bisa langsung membuka halaman topik yang dibutuhkan dengan merujuk ke daftar isi.

Sebagaimana tercermin pada judulnya, buku ini diterbitkan oleh Oxford University Press, dan semua pelajar bahasa Inggris mafhum bahwa Oxford menjadi salah satu ikon mutu pembelajaran bahasa Inggris sampai hari ini.

Lanjut ke OPG
Share:

Glosarium Istilah Asing-Indonesia

Glosarium ini memuat daftar istilah asing (selain bahasa Indonesia) dan padanannya dalam bahasa Indonesia. Tergolong cukup tebal, karena glosarium ini terdiri atas 3.240 halaman dan mencakup istilah-istilah dalam aneka bidang. Bagi kita yang bertekad untuk menghindari pencampuran bahasa (Indonesia dan asing) dalam menulis, glosarium ini cukup membantu.

Lanjut ke Glosarium
Share:

Kamus Bahasa Indonesia (KBI)

Ups ... jangan keliru! Ini bukan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Yang ini Kamus (tanpa "Besar") Bahasa Indonesia (KBI, hanya satu "B"). Sama-sama keluaran Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa (namanya sempat beberapa kali mengalami perubahan) KBI lebih tipis daripada KBBI. Jumlah lema di dalam KBI lebih kecil daripada KBBI. Penjelasan atas lemanya pun lebih ringkas. KBBI diterbitkan dalam dua versi (cetak dan daring), sedangkan KBI hanya dalam versi buku-el dalam format pdf. Disusun oleh Tim Penyusun Kamus, Pusat Bahasa (nama Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa kala itu) dan dipimpin langsung oleh Dendy Sugono, Kepala Pusat Bahasa, kamus ini diterbitkan pada 2008.

Lanjut ke KBI
Share:

Tesaurus

Ketika sedang membaca, kita kadang terganggu oleh kosakata yang belum kita pahami maknanya. Dalam situasi demikian, kamus menjadi rujukan untuk mengusir gangguan seperti itu. Sebaliknya, kita kadang ragu dalam memilih kata yang tepat untuk mengungkapkan maksud kita. Atau, pada saat yang lain, kita kadang merasa jenuh sendiri terhadap kata yang muncul berulang-ulang dalam tulisan kita. Nah, dalam situasi seperti ini, kita membutuhkan tesaurus.

Di samping Kamus Besar Indonesia (KBI), pada masa kepemimpinan Dendy Sugono, Pusat Bahasa juga menerbitkan Tesaurus Bahasa Indonesia versi buku-el dalam format pdf.

Lanjut ke Tesaurus
Share:

Paragraf

"Paragraf merupakan miniatur dari suatu karangan. Syarat-syarat sebuah karangan ada pada paragraf. Memahami seluk beluk paragraf berarti juga memahami miniatur dari sebuah bangun yang disebut karangan. Terampil membangun paragraf berarti terampil pula membangun miniatur karangan dalam ukuran yang lazim. Hal ini berarti bahwa paragraf merupakan dasar utama bagi kegiatan karang-mengarang." (Suladi, 2014: 1)

Kutipan paragraf di atas dapat kita temuka di buku-el Seri Penyuluhan Bahasa Indonesia: Paragraf yang disusun oleh Suladi dan diterbitkan oleh Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kemdikbud.

Lanjut ke Paragraf
Share:

Kalimat


  1. hujan lebat disertai angin kencang yang semalam memorakporandakan permukiman penduduk dan lahan perkebunan di tiga desa
  2. Semalam terjadi hujan angin.

Rangkaian panjang kata-kata pada nomor 1 di atas tidak dibubuhi satu tanda baca pun dan tidak pula diawali dengan huruf kapital. Sementara, rangkaian empat kata (hanya seperempat dari nomor 1) pada nomor 2 diawali dengan huruf kapital dan diakhiri dengan titik. Mengapa?

Nah, untuk menghindari kerancuan antara frasa, klausa, dan kalimat, kita bisa merujuk kepada buku-el Seri Penyuluhan Bahasa Indonesia: Kalimat keluaran Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kemdikbud.

Lanjut membaca atau mengunduh Kalimat
Share:

Bentuk dan Pilihan Kata

"Perobahan standard pekerjaan tidak akan mempengaruhi efektivitas kerja jika para pekerja tidak merubah pola pikir dalam mensikapi standarisasi baru itu."

Sadarkah kita bahwa tujuh kata yang dicetak miring dalam kalimat di atas semuanya salah? Perobahan dan merubah adalah bentukan dari kata dasar ubah yang mestinya menjadi perubahan dan mengubah. Kata standard (Inggris) diserap ke dalam bahasa Indonesia menjadi standar. Sementara, kata standardisation diserap utuh menjadi standardisasi; tidak terdapat bentukan standar + isasi karena akhiran isasi tidak dikenal dalam bahasa Indonesia. Kata pengaruh ketika mendapat gabungan imbuhan meng-...-i menjadi memengaruhi, bukan mempengaruhiEfektivitas adalah bentuk yang salah karena ...-itas merupakan adaptasi unsur serapan dari sufiks ...ity (Inggris), sedangkan dalam bahasa Inggris tidak ditemukan kata effectivity (yang ada: effectiveness). Bahasa Indonesia menyerap kata effective menjadi efektif. Untuk membentuk nomina, kata efektif (adjektiva) diberi konfiks ke-...-an menjadi keefektifan. Kata sikap bila diberi awalan meng- menjadi menyikapi.

Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa telah menerbitkan buku-el yang mengupas seluk beluk bentuk dan pilihan kata.

Lanjut ke Bentuk dan Pilihan Kata
Share:

Jumat, 12 Januari 2018

Gara-gara Ganti Imam



Adalah Pak Amin, warga pendatang di kampung kami. Dia tinggal di rumah seorang janda. Letaknya hanya beberapa langkah dari langgar kampung. Rumah itu sudah hampir satu tahun tidak dihuni oleh pemiliknya. Sejak menderita pikun, nenek janda itu diajak tinggal bersama anak bungsunya di kampung sebelah.

Beberapa hari menjelang bulan puasa, Pak Amin mulai menyewa rumah itu. Sebenarnya sudah agak lama dia sering datang ke kampung kami. Awalnya dia datang mengendarai sepeda motor dengan keranjang besar di boncengan. Seharian ia berkeliling di kampung kami dan kampung-kampung sekitar. Sambil menjalankan sepeda motornya perlahan, sesekali ia berteriak lantang, "Rongsok ... rongsok ...!"

Ya, Pak Amin berdagang rongsok. Ia membeli barang-barang rongsokan dari penduduk lalu menjualnya kepada pengepul di kota. Tiap tengah hari ia beristirahat sambil makan siang di warung Mbok Jah. Itu satu-satunya warung makan di kampung kami. Menunya sederhana dan itu-itu saja: pecel, sayur lombok ijo, gereh garang, dan sambal jelantah.

Di sela-sela istirahat siangnya, Pak Amin selalu menunjukkan kegelisahan. Matanya menerawang jauh, seperti ada yang berkecamuk di angan-angannya.

"Mbok, ... di sini kok tidak pernah terdengar azan, ya?" celetuknya usai menyeruput teh manis buatan Mbok Jah.

"Ya nggak sampai sini, Nak, suaranya. Lha wong masjidnya saja jauh, di kecamatan sana," sahut Mbok Jah.

Dari Mbok Jah pula, Pak Amin mendapat informasi tentang rumah kosong yang kelak disewanya itu. Rumah itu cukup kecil, barangkali lebih tepat disebut gubuk. Dinding sisi depan terbuat dari papan, sedangkan sisi kanan, kiri, dan belakang berdinding gedek. Namun, pekarangannya lumayan luas. Di gubuk tua itulah Pak Amin tinggal bersama dua orang lelaki yang lebih muda. Konon, kedua pemuda itu masih keponakannya sendiri, yang juga bekerja sebagai tukang rongsok.

Bertiga, mereka mendirikan dua bangunan baru. Satu di belakang gubuk yang sudah ada, beratap seng dan tanpa dinding. Di situlah mereka mengumpulkan barang-barang bekas hasil perburuannya di kampung-kampung sekitar. Rupanya Pak Amin sudah naik kelas menjadi pengepul rongsok, dengan dua asisten. Sepekan sekali sebuah truk datang mengambil barang-barang rongsok yang menggunung di gubuk belakang.

Bangunan baru lainnya didirikan di depan gubuk lama, agak menjorok ke barat. Atapnya berbentuk limas, terbuat dari asbes. Sisi utara, barat, dan selatan ditutup dengan seng sebagai dinding, setinggi tiga per empat tiang. Di puncak atap dipasang dua corong pengeras suara dalam posisi saling membelakangi. Sejak hari itulah, mulai terdengar kumandang azan di kampung kami, lima kali sehari. Penduduk kampung hanya kaget, bengong, dan tak bereaksi apa pun terhadap seruan lantang dari puncak bangunan baru berjuluk langgar itu.

Pak Amin dan kedua keponakannya, yang belakangan diketahui bernama Abu dan Ali, mengubah ritme kerjanya. Pagi sampai siang mereka berkeliling dengan sepeda motor di kampung-kampung sekitar. Zuhur mereka pulang, menggudangkan rongsok hasil buruan setengah hari dan menunaikan salat Zuhur. Selepas zuhur mereka kembali membawa sepeda motor mereka berkeliling ke kampung-kampung yang lain hingga menjelang asar. Usai salat Asar mereka baru berkeliling di kampung kami.

Di kampung kami mereka tidak lagi naik motor sambil berteriak, "Rongsok ... rongsok ...!" Mereka berjalan kaki dari rumah ke rumah. Mereka hampiri setiap orang yang dijumpai, entah di rumah, warung, jalan, atau kebun. Rongsok tidak lagi menjadi topik utama obrolan mereka. Ada misi baru yang mereka emban: mengundang warga kampung untuk turut serta dalam salat berjemaah di langgar mereka. Rata-rata warga ragu untuk memenuhi undangan mereka. Bukan karena enggan!

"Kami tidak tahu bagaimana cara salat," jawaban sebagian besar warga, "Seumur-umur kami belum pernah diajari salat."

"Tidak apa-apa," sahut Trio "A" (Amin, Abu, Ali), "Nanti tinggal mengikuti di belakang dan menirukan gerakan kami."

Bulan puasa pun tiba. Belasan orang--laki-laki, perempuan, tua, muda, dewasa, anak-anak--mengikuti Tarawih malam pertama. Pak Amin bertindak sebagai imam. Abu dan Ali berjajar tepat di belakang imam. Jemaah yang lain membentuk barisan mulai dari belakang Abu dan Ali.

"Ibu-ibu, Bapak-bapak, dan Saudara-saudara nanti silakan menirukan gerakan saya, Abu, dan Ali," Pak Amin memberikan komando sambil mengatur barisan jemaah, dibantu oleh Abu dan Ali. "Kalau belum tahu, tidak usah membaca apa-apa. Ketika kami mengucapkan 'amin', silakan ikut mengucapkan."

Salat Isya dimulai. Pada rakaat pertama, beberapa orang ikut mengucapkan "amin", kendati agak terlambat. Pada rakaat kedua, makin banyak yang ikut mengamini surat Fatihah yang dibaca imam. Pada rakaat-rakaat berikutnya dalam salat Tarawih dan Witir, lantunan "amin" makin kompak dan lantang. Setelah rangkaian salat usai, Pak Amin membalikkan badan, duduk bersila menghadap ke jemaah. Mulailah juragan rongsok itu mengajarkan beberapa kalimat bacaan salat. Jemaah menirukan berulang-ulang kalimat demi kalimat yang diajarkan.

Jumlah jemaah pada malam kedua bertambah banyak, dan kian hari kian penuh saja langgar darurat itu. Rangkaian kegiatan pun relatif tetap: salat Isya, Tarawih, Witir, dan hafalan bacaan salat. Secara bergantian, Pak Amin, Abu, dan Ali mengajarkan cara salat: bacaan dan gerakannya. Pelajaran dimulai dengan mengulang-ulang materi hafalan sebelumnya, kemudian baru ditambah beberapa kalimat baru. Bertambah hari bertambah pula materi bacaan salat yang mereka hafal. Menjelang penghujung Ramadan, hampir semua jemaah hafal seluruh bacaan salat.

Tiga hari sebelum Idulfitri, Pak Amin berpamitan. Ia hendak mudik untuk berlebaran bersama keluarga di kampung halamannya. Demi melanjutkan dakwah membimbing jemaah, Abu dan Ali rela berhari raya jauh dari keluarga. Dengan senang dan tulus hati mereka menerima amanah untuk menggantikan sang paman membimbing para "mualaf".

Rangkaian Tarawih menginjak malam ke-28. Abu bertindak sebagai imam. Subhanallah, bacaan surat Fatihahnya merdu sekali. Emosi jemaah hanyut ke suasana transendental meski sama sekali tak paham arti ayat-ayat yang mereka dengar. Sebagian jemaah dewasa mulai menitikkan air mata. Entah perasaan apa yang mereka hayati.

"Aaabuuu ...," sahut jemaah kompak seusai imam tuntas membaca Fatihah pada rakaat pertama salat Isya. Hanya Ali dan Abu sendiri yang tidak memanggil Abu.

Abu paham apa yang terjadi. Pun dia yakin, hal serupa akan berulang pada rakaat kedua. Tapi, ia memutuskan untuk melanjutkan salat hingga tuntas. Senyum dan tangis bersenyawa di hatinya selama menghabiskan sisa salatnya.

Tidak seperti biasanya, usai salat Isya imam langsung membalikkan badan untuk menyampaikan pelajaran kepada jemaah. Ali, yang duduk persis berhadapan dengan Abu, menunduk seperti menahan tawa.

"Ibu-ibu, Bapak-bapak, dan Saudara-saudara, ...," Abu membuka pelajaran, "Ya, Allah, ... jika kesalahan ini harus berbuah dosa, hamba mohon bebankan dosa itu kepada kami, bukan mereka. Kami bertiga telah lalai, tidak menyampaikan petunjuk Rasul-Mu kepada mereka."

Suasana menjadi hening. Para jemaah tidak mengerti arah pembicaraan Abu. Yang terbaca hanya ekspresi penyesalan yang tergambar di wajahnya. Setelah Abu tuntas menjelaskan, baru mereka paham bahwa--siapa pun imamnya--akhir surat Fatihah disahut dengan ucapan "amin", bukan nama imamnya.

Jemaah gergeran menertawakan diri sendiri.

Pesan Nakal (jangan dibaca: pesan moral):
  1. Semoga Pak Amin, Abu, dan Ali tidak naik kelas menjadi ustaz atau kyai, apalagi nyambi sebagai politisi, agar setia mengabdi dan berbakti di jalan sunyi tanpa mengumbar janji-janji.
  2. Andaipun terpaksa didaulat menjadi kyai atau ustaz, semoga mereka tetap setia pada fungsi korektor sejati: membetulkan kesalahan, bukan menyalahkan yang benar dan membenarkan yang salah.
Catatan:
Penulis mohon dimaafkan atas kegagalannya dalam menghadirkan anekdot an sich di halaman ini. Mudah-mudahan, anekdot yang tersesat ini tidak menyesatkan Pembaca.
Share:

Mawas Diri Seorang Ayah

Tulisan berikut pernah dimuat di Kolom Ayah majalah Ummi edisi Maret 2017.


Share:

Ibu

(Iwan Fals)

Ribuan kilo

jalan yang kautempuh
lewati rintang
untuk aku anakmu

Ibuku sayang
masih terus berjalan
walau tapak kaki
penuh darah penuh nanah

Seperti udara
kasih yang engkau berikan
Dengan apa membalas
Ibu ... Ibu ...

Ingin kudekap dan menangis di pangkuanmu
sampai aku tertidur bagai masa kecil dulu
Lalu doa-doa baluri sekujur tubuhku
Tak mampu ku membalas
Ibu ... Ibu ...

Loh, bukannya itu lirik lagu? Betul. Simpulan itu kita tarik dari pengalaman kita mendengarkan untaian syair tersebut dinyanyikan. Bagaimana seandainya kita belum pernah mendengar nyanyiannya lalu larik demi larik syair itu dideklamasikan oleh seorang bocah di depan kelas?
Begitulah, banyak lirik lagu yang puitis sehingga tak haram untuk disebut sebagai puisi. Bahkan, banyak pula puisi yang kemudian diadopsi menjadi lirik lagu.
Share:

Piala di Atas Dangau

LMCR 2015 menghasilkan antologi 10 cerpen terbaik. Piala di Atas Danau adalah salah satunya, yang kemudian dipakai sebagai judul bukunya.

Bukunya bisa diunduh di sini.
Share:

Tarian Salju Karaban

Tarian Salju Karaban adalah satu di antara 15 cerpen terbaik hasil LMCR 2014.

Buku antologinya bisa diunduh di sini.
Share:

Air Mata Dayang Sumbi

Air Mata Dayang Sumbi adalah judul antologi cerpen hasil LMCR 2013. Selain cerpen berjudul Air Mata Dayang Sumbi, terdapat 14 cerpen lain di dalam buku ini.

Buku antologinya bisa diunduh di sini.
Share:

Cheng Ho di Balik Etalase Budaya Semarang

Antologi 15 cerpen terbaik LMCR 2012

Bukunya bisa diunduh di sini.
Share:

Lentera Kelam Tiga Puluh Februari

Seperti pada kategori LMCA, 15 cerpen terbaik pilihan tim juri dalam LMCR 2011 dibukukan menjadi antologi berjudul Lentera Kelam Tiga Puluh Februari. Judul cerpen pemenang I tersebut cukup untuk mencerminkan kreativitas tinggi penulisnya, yang masih menjadi anggota pasukan putih-biru.

Bukunya bisa diunduh di sini.
Share:

Mencari Ujung Pelangi

10 cerpen terbaik hasil penilaian tim juri LMCA 2015, salah satunya Mencari Ujung Pelangi, yang dipakai sebagai judul antologinya.

Bukunya bisa diunduh di sini.
Share:

Betapa Hebatnya Dia

Antologi 15 cerpen hasil LMCA 2014 berjudul Betapa Hebatnya Dia.

Bukunya dapat diunduh di sini.
Share:

Seuntai Puisi untuk Adikku

Antologi 13 cerpen terbaik dalam LMCA 2013 dibukukan dengan judul Seuntai Puisi untuk Adikku.

Bukunya dapat diunduh di sini.
Share:

Menulis, ... Siapa Takut?

Menulis itu sulit!
Begitu keluhan yang sering terdengar. Dan memang begitu kenyataannya. Kalau menulis itu mudah, pasti tidak ada pelajaran menulis. Seperti bernapas, menangis, mengompol; karena mudah, bayi baru lahir pun langsung mahir, tanpa diajari. Jadi, percayalah, apa pun yang perlu diajarkan itu berarti sulit! Namun, yakinlah pula bahwa bersama kesulitan itu ada kemudahan! "Siapa" pembawa kemudahan itu? Belajar, ... berlatih, ... mencoba, dan ... tidak kapok.
Nah, kalau ingin mulai belajar menulis, kita bisa berguru kepada G. Lini Hanafiah, yang sudah bermurah hati berbagi buku-el (ebook) beliau secara cuma-cuma.

Share:

Lebih Jauh tentang Ejaan

Penjelasan lebih rinci tentang ejaan dapat dipelajari di buku Ejaan, Seri Penyuluhan Bahasa Indonesia, keluaran Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Indonesia, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan,

Ejaan (Suluh Bahasa)
Share:

Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia (PUEBI)

Ejaan dalam bahasa tulis adalah pengganti intonasi, ekspresi, dan gestur dalam bahasa lisan. Itulah mengapa, ketika membaca kalimat kutipan dalam cerita, kita spontan membayangkan tingkah sang tokoh. Atau, bahkan, kita sering diam-diam memperagakan sang tokoh.
Di samping itu, pemakaian ejaan bisa menunjukkan "siapa" penulisnya. Kita tentu akrab dengan pepatah "bahasa menunjukkan bangsa". Nah, kita akan terbaca sebagai "bangsa" apa lewat pemakaian ejaan dalam tulisan kita.
Untuk belajar disiplin mengeja bahasa Indonesia, kita bisa merujuk kepada PUEBI.

Share:

Tembe Krasa #3 (Cerkak)

Ora krasa wis kliwat Nguter. Nyumurupi plengkung “Selamat Datang” ing gapura kikis kabupatèn, kaya disengkakaké anggoné Pak Didik...

Translate

Wikipedia

Hasil penelusuran

dari Catatan Kang Gw

dari Bale Sinau

Teman Pantulkit