mengasah keterampilan merajut kata menyulam cipta

  • Sampul Buku Antologi Puisi "Sang Dwija"

    Buku ini berisi antologi puisi, gurit (puisi berbahasa Jawa), dan Macapat (jenis tembang Jawa) karya 12 alumni SPG Negeri Wonogiri. Semuanya mengungkapkan refleksi atas tragedi yang menimpa Ahmad Budi Cahyono, guru muda di tanah Madura yang meregang nyawa akibat ulah beringas seorang muridnya.

  • Infografis Pidato Mendikbud pada HGN 2019

    Pidato Mendikbud Nadiem Makarim pada Hari Guru Nasional 2019 mendapat apresiasi secara luas.

  • Tembe Krasa

    Apa aku pantes sinebut anak sing saleh? Apa isih kurang sih tresnane Gusti marang Bapak? Apa tandha yekti tresna lan bektiku marang Bapak?

  • This is default featured slide 4 title

    Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

  • This is default featured slide 5 title

    Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Kamis, 28 November 2019

Mung Upama

upama bandha nyukupi
kanggo nyewa sawetara staf ahli
mesthi gampang olehku ngadani
pasinaon sing kebak inovasi
kreasi lan inspirasi
kaya karepe mas mentri

upama darbe wewenang
ndhapuk staf khusus pirang-pirang
maneka guna nyawiji kinarya rewang
mesthi entheng anggonku mulang
ngemong karakter sipate bocah sakandhang
saweneh bakat lan minat kesait digegulang
tundhone sugih iguh luhur budi prigel tumandang

upama keduman pangkat
wenang ngereh wadya aparat
pasukan antihuruhara kena daksambat
ngrangket grombolaning siswa keparat
sing murang sarak nerak sarengat
kareben digawe klenger tumekeng sekarat
ora-orane yen empan pidana apadene walat
kaya nalika mbrastha teroris utawa demonstran nekad

nanging
kabeh mau mung tiba upama
mbok menawa wis dadi garising kodrat
guru mono tuk underane kliru susuhe luput
akhlake bangsa bubrah
ya kudu guru sing nanggung salah
kuncaraning negara surut
ya tetep guru sing wajib diusut

mula ta mula
aja nyidham dadi guru
ewadene yen wis kebacut dadi guru
aja pisan-pisan ngepek mantu guru
utawa besanan karo sapadhane guru
kejaba yen sliramu yakin
ora ana muridmu sing bakal dadi priyayi luhur
merga mung wong asor sing bisa ngajeni labete guru
mesthi wae pengajine ya asor

wis
gage ndang ndlosor

Semawis, ndungkap surup 27112019
Share:

Jumat, 18 Januari 2019

Bahan Bacaan Literasi 2018

Buku-buku bahan bacaan literasi. Hasil karya para juara 2018. Bisa diunduh di sini.
Share:

Rabu, 16 Januari 2019

Puisi Kau Tak

Puisi Kau Tak
Kang Gw

andai kau tak
beratap dan beralas
dua lingkaran sama luas
maka silinder
kau diberi tetenger

bila kau tak
berdinding persegi
enam keping sama dimensi
lalu kubus begitu
orang menjulukimu

jika kau tak
bersisi tiga pasang
persegi panjang
nama balok yang kausandang
sejak dulu hingga sekarang

kalau kau tak
berpagar empat bidang
persegi panjang
dan dua persegi
yang menemani
masih balok pula
kau punya nama

ketika kau tak
bertepi persegi panjang beberapa
beralas beratap bukan mereka
lalu muncul titel prisma
bersanding nama sepasang sisi
atap dan alas yang kaumiliki

Serambi Sajak, 2019.01.16

*****


Notawacana

Puisi Kau Tak menetas dari keterkejutan. Atas kesadaran yang terlambat. Di sebuah tempat ibadah. Beredar beberapa kaleng biskuit. Sisi luarnya sudah ditutup cat. Dengan warna tunggal. Tidak saya sebut nama warnanya. Takut dikaitkan pilihan politik.
Kaleng-kaleng itu berbentuk tabung. Silinder nama kerennya. Sisi atasnya dilubangi memanjang. Sekira empat senti. Atau lebih. Bisa juga kurang. Saya tidak sempat mengukurnya. Orang-orang yang duduk bersila dihampiri. Satu per satu. Hampir semua mengisinya. Satu atau beberapa. Keping koin atau lembar kertas uang. Sambil khusyuk menyimak khutbah. Ada juga yang semitidur. Bahkan, terdengar bunyi dengkur. Bersahut-sahutan di sana-sini.
Tetiba saya tersadarkan. Pada fenomena lama. Yang sebelumnya luput dari perhatian. Pengurus rumah peribadatan mengumumkan. Menjelang khutbah dimulai. Disebut jumlah uang. "Hasil perolehan kotak amal." Pekan sebelumnya. Begitu diksi yang dipilih. Saya baru menyadari. Semua wadah derma kaprah disebut "kotak". Apa pun bentuknya.

*) Tentang infak atau sedekah yang lazim disebut "amal", saya sudah lebih dulu memakluminya. Jauh sebelumnya.

Share:

Rabu, 09 Januari 2019

Kawan Melawan

Kawan Melawan
Kang Gw

petarung petarung naik panggung
cita cita ramai diusung
gemuruh sorak kaum pendukung
bersahut sahut pekik menggaun

sini teriak sana menyalak
berkacak pinggang tampakkan galak
tangan mengepal mata membelalak
bersuara kencang bikin pekak

satu mencibir yang lain nyinyir
abaikan nalar lalaikan pikir
saling hujat berbalas sindir
berbantah ria dalam debat kusir

dahulu kawan sekarang lawan
hari ini lawan esok kawan
hari esok kawan lusa melawan
melawan kawan berkawan lawan
siapa lawan siapa kawan
semata didikte kepentingan

kawan dan lawan sama penting
tiada kawan lawan membanting
tiada lawan kawan menggunting
pagi dilawan sore disunting
siang berkawan malam bertanding
lawan dan kawan sama sinting

kawanmu adalah lawanmu
lawanmu kawanmu jua
tinggallah aku tetap korbanmu
sepanjang masa


Serambi Sajak, 08012018

#####
Notawacana:

Puisi adalah planet baru bagi saya. Menulis maupun membacanya.

Sedikit teknik membaca puisi pernah saya pelajari. Lewat buku dan diskusi. Tapi bekal itu tak pernah membuat saya bernyali. Untuk tampil sebagai pembaca puisi. Di panggung kompetisi atau ekshibisi. Sekadar menikmati puisi sih saya suka. Dengan membaca dalam hati. Beberapa--ya, hanya beberapa--buku kumpulan puisi ada. Di rak buku. Di rumah. Sejak masih indekos, mengontrak, hingga tinggal di rumah utangan.

Ilmu menulis puisi? Sama sekali. Belum pernah saya merabanya. Apalagi menjamahnya. Yang aneh, saya sering "mengajar" menulis puisi. Itu karena terpaksa. Kurikulum yang memaksa. Bagaimana saya mengajar? Wong belum pernah mengalami? Saya suruh saja anak-anak menulis. Sejadi-jadinya. Dan semua saya beri acungan jempol. Termasuk puisi satu baris. Yang proses produksinya memakan waktu dua jam pelajaran. Jempol beneran. Bukan gambar jempol. Seperti yang marak di aneka media sosial.

Tanpa contoh karya gurunya? Tak. Belajar terbaik itu dengan mengalami sendiri. Lalu menemukan pengalaman baru. Lalu berani berkreasi. Menciptakan pengalaman baru lagi. Tidak takut dibilang mengkhianati peran guru? Yang keratabasa-nya: di-gugu dan ditiru? Justru keyakinan saya itu harus digugu. Bahwa setiap anak berhak untuk berkarya. Bahwa setiap karya anak layak untuk diapresiasi. Pun gaya saya itu patut ditiru. Bahwa menjadi guru tak harus banyak menggurui.

Akhirnya waktunya tiba. Saya mulai berkenalan dengan penulisan puisi. Pengalaman baru. Efek bermedia sosial.

Salah seorang teman di Facebook. Yang ternyata teman sekolah saya dulu. Suka mengunggah puisi (berbahasa Indonesia) dan gurit (berbahasa Jawa). Bagus semua. Menurut saya. Amat magis. Pilihan kata-katanya. Seorang teman yang lain rajin menulis di blognya. Lalu dibagikan tautannya ke Facebook. Sebagian besar isinya puisi dan gurit. Teman kedua--kakak kelas saya di sekolah yang sama dengan teman yang pertama--ini lebih melejit. Puisi-puisinya bertebaran di sejumlah media massa. Di samping diterbitkan dalam bentuk buku. Sering pula menjadi juara. Di banyak ajang lomba menulis.

Kepada keduanya saya tawarkan pertemanan. Masih di Facebook. Hingga terbentuk grup belajar menulis. Di WhatsApp. Di sinilah saya mulai belajar. Menulis puisi. Bersama belasan teman. Yang tak lagi pernah bertemu. Hampir tiga dasawarsa. Bahkan, beberapa tak saling kenal. Secara personal. Karena lupa. Atau memang dulunya tidak pernah saling sapa.

Nyaris setahun usia grup kami. Sebuah buku antologi pun jadi. Nama saya turut terpublikasi. Lewat gurit, macapat, dan puisi. Mentor kami seperti saya. Pintar mengapresiasi karya. Membesarkan hati pemula. Nyali saya jadi terpompa. Untuk terus mencipta. Ketagihan susah obatnya.
Share:

Tembe Krasa #3 (Cerkak)

Ora krasa wis kliwat Nguter. Nyumurupi plengkung “Selamat Datang” ing gapura kikis kabupatèn, kaya disengkakaké anggoné Pak Didik...

Translate

Wikipedia

Hasil penelusuran

dari Catatan Kang Gw

dari Bale Sinau

Teman Pantulkit