mengasah keterampilan merajut kata menyulam cipta

Rabu, 09 Januari 2019

Kawan Melawan

Kawan Melawan
Kang Gw

petarung petarung naik panggung
cita cita ramai diusung
gemuruh sorak kaum pendukung
bersahut sahut pekik menggaun

sini teriak sana menyalak
berkacak pinggang tampakkan galak
tangan mengepal mata membelalak
bersuara kencang bikin pekak

satu mencibir yang lain nyinyir
abaikan nalar lalaikan pikir
saling hujat berbalas sindir
berbantah ria dalam debat kusir

dahulu kawan sekarang lawan
hari ini lawan esok kawan
hari esok kawan lusa melawan
melawan kawan berkawan lawan
siapa lawan siapa kawan
semata didikte kepentingan

kawan dan lawan sama penting
tiada kawan lawan membanting
tiada lawan kawan menggunting
pagi dilawan sore disunting
siang berkawan malam bertanding
lawan dan kawan sama sinting

kawanmu adalah lawanmu
lawanmu kawanmu jua
tinggallah aku tetap korbanmu
sepanjang masa


Serambi Sajak, 08012018

#####
Notawacana:

Puisi adalah planet baru bagi saya. Menulis maupun membacanya.

Sedikit teknik membaca puisi pernah saya pelajari. Lewat buku dan diskusi. Tapi bekal itu tak pernah membuat saya bernyali. Untuk tampil sebagai pembaca puisi. Di panggung kompetisi atau ekshibisi. Sekadar menikmati puisi sih saya suka. Dengan membaca dalam hati. Beberapa--ya, hanya beberapa--buku kumpulan puisi ada. Di rak buku. Di rumah. Sejak masih indekos, mengontrak, hingga tinggal di rumah utangan.

Ilmu menulis puisi? Sama sekali. Belum pernah saya merabanya. Apalagi menjamahnya. Yang aneh, saya sering "mengajar" menulis puisi. Itu karena terpaksa. Kurikulum yang memaksa. Bagaimana saya mengajar? Wong belum pernah mengalami? Saya suruh saja anak-anak menulis. Sejadi-jadinya. Dan semua saya beri acungan jempol. Termasuk puisi satu baris. Yang proses produksinya memakan waktu dua jam pelajaran. Jempol beneran. Bukan gambar jempol. Seperti yang marak di aneka media sosial.

Tanpa contoh karya gurunya? Tak. Belajar terbaik itu dengan mengalami sendiri. Lalu menemukan pengalaman baru. Lalu berani berkreasi. Menciptakan pengalaman baru lagi. Tidak takut dibilang mengkhianati peran guru? Yang keratabasa-nya: di-gugu dan ditiru? Justru keyakinan saya itu harus digugu. Bahwa setiap anak berhak untuk berkarya. Bahwa setiap karya anak layak untuk diapresiasi. Pun gaya saya itu patut ditiru. Bahwa menjadi guru tak harus banyak menggurui.

Akhirnya waktunya tiba. Saya mulai berkenalan dengan penulisan puisi. Pengalaman baru. Efek bermedia sosial.

Salah seorang teman di Facebook. Yang ternyata teman sekolah saya dulu. Suka mengunggah puisi (berbahasa Indonesia) dan gurit (berbahasa Jawa). Bagus semua. Menurut saya. Amat magis. Pilihan kata-katanya. Seorang teman yang lain rajin menulis di blognya. Lalu dibagikan tautannya ke Facebook. Sebagian besar isinya puisi dan gurit. Teman kedua--kakak kelas saya di sekolah yang sama dengan teman yang pertama--ini lebih melejit. Puisi-puisinya bertebaran di sejumlah media massa. Di samping diterbitkan dalam bentuk buku. Sering pula menjadi juara. Di banyak ajang lomba menulis.

Kepada keduanya saya tawarkan pertemanan. Masih di Facebook. Hingga terbentuk grup belajar menulis. Di WhatsApp. Di sinilah saya mulai belajar. Menulis puisi. Bersama belasan teman. Yang tak lagi pernah bertemu. Hampir tiga dasawarsa. Bahkan, beberapa tak saling kenal. Secara personal. Karena lupa. Atau memang dulunya tidak pernah saling sapa.

Nyaris setahun usia grup kami. Sebuah buku antologi pun jadi. Nama saya turut terpublikasi. Lewat gurit, macapat, dan puisi. Mentor kami seperti saya. Pintar mengapresiasi karya. Membesarkan hati pemula. Nyali saya jadi terpompa. Untuk terus mencipta. Ketagihan susah obatnya.
Share:

0 comments:

Posting Komentar

Tembe Krasa #3 (Cerkak)

Ora krasa wis kliwat Nguter. Nyumurupi plengkung “Selamat Datang” ing gapura kikis kabupatèn, kaya disengkakaké anggoné Pak Didik...

Translate

Wikipedia

Hasil penelusuran

dari Catatan Kang Gw

dari Bale Sinau

Teman Pantulkit