Jumat, 18 Januari 2019
Bahan Bacaan Literasi 2018
Buku-buku bahan bacaan literasi. Hasil karya para juara 2018. Bisa diunduh di sini.
Rabu, 16 Januari 2019
Puisi Kau Tak
Puisi Kau Tak
Kang Gw
andai kau tak
beratap dan beralas
dua lingkaran sama luas
maka silinder
kau diberi tetenger
bila kau tak
berdinding persegi
enam keping sama dimensi
lalu kubus begitu
orang menjulukimu
jika kau tak
bersisi tiga pasang
persegi panjang
nama balok yang kausandang
sejak dulu hingga sekarang
kalau kau tak
berpagar empat bidang
persegi panjang
dan dua persegi
yang menemani
masih balok pula
kau punya nama
ketika kau tak
bertepi persegi panjang beberapa
beralas beratap bukan mereka
lalu muncul titel prisma
bersanding nama sepasang sisi
atap dan alas yang kaumiliki
Serambi Sajak, 2019.01.16
*****
Notawacana
Puisi Kau Tak menetas dari keterkejutan. Atas kesadaran yang terlambat. Di sebuah tempat ibadah. Beredar beberapa kaleng biskuit. Sisi luarnya sudah ditutup cat. Dengan warna tunggal. Tidak saya sebut nama warnanya. Takut dikaitkan pilihan politik.
Kaleng-kaleng itu berbentuk tabung. Silinder nama kerennya. Sisi atasnya dilubangi memanjang. Sekira empat senti. Atau lebih. Bisa juga kurang. Saya tidak sempat mengukurnya. Orang-orang yang duduk bersila dihampiri. Satu per satu. Hampir semua mengisinya. Satu atau beberapa. Keping koin atau lembar kertas uang. Sambil khusyuk menyimak khutbah. Ada juga yang semitidur. Bahkan, terdengar bunyi dengkur. Bersahut-sahutan di sana-sini.
Tetiba saya tersadarkan. Pada fenomena lama. Yang sebelumnya luput dari perhatian. Pengurus rumah peribadatan mengumumkan. Menjelang khutbah dimulai. Disebut jumlah uang. "Hasil perolehan kotak amal." Pekan sebelumnya. Begitu diksi yang dipilih. Saya baru menyadari. Semua wadah derma kaprah disebut "kotak". Apa pun bentuknya.
*) Tentang infak atau sedekah yang lazim disebut "amal", saya sudah lebih dulu memakluminya. Jauh sebelumnya.
Kang Gw
andai kau tak
beratap dan beralas
dua lingkaran sama luas
maka silinder
kau diberi tetenger
bila kau tak
berdinding persegi
enam keping sama dimensi
lalu kubus begitu
orang menjulukimu
jika kau tak
bersisi tiga pasang
persegi panjang
nama balok yang kausandang
sejak dulu hingga sekarang
kalau kau tak
berpagar empat bidang
persegi panjang
dan dua persegi
yang menemani
masih balok pula
kau punya nama
ketika kau tak
bertepi persegi panjang beberapa
beralas beratap bukan mereka
lalu muncul titel prisma
bersanding nama sepasang sisi
atap dan alas yang kaumiliki
Serambi Sajak, 2019.01.16
*****
Notawacana
Puisi Kau Tak menetas dari keterkejutan. Atas kesadaran yang terlambat. Di sebuah tempat ibadah. Beredar beberapa kaleng biskuit. Sisi luarnya sudah ditutup cat. Dengan warna tunggal. Tidak saya sebut nama warnanya. Takut dikaitkan pilihan politik.
Kaleng-kaleng itu berbentuk tabung. Silinder nama kerennya. Sisi atasnya dilubangi memanjang. Sekira empat senti. Atau lebih. Bisa juga kurang. Saya tidak sempat mengukurnya. Orang-orang yang duduk bersila dihampiri. Satu per satu. Hampir semua mengisinya. Satu atau beberapa. Keping koin atau lembar kertas uang. Sambil khusyuk menyimak khutbah. Ada juga yang semitidur. Bahkan, terdengar bunyi dengkur. Bersahut-sahutan di sana-sini.
Tetiba saya tersadarkan. Pada fenomena lama. Yang sebelumnya luput dari perhatian. Pengurus rumah peribadatan mengumumkan. Menjelang khutbah dimulai. Disebut jumlah uang. "Hasil perolehan kotak amal." Pekan sebelumnya. Begitu diksi yang dipilih. Saya baru menyadari. Semua wadah derma kaprah disebut "kotak". Apa pun bentuknya.
*) Tentang infak atau sedekah yang lazim disebut "amal", saya sudah lebih dulu memakluminya. Jauh sebelumnya.
Rabu, 09 Januari 2019
Kawan Melawan
Kawan Melawan
Kang Gw
petarung petarung naik panggung
Kang Gw
petarung petarung naik panggung
cita cita ramai diusung
gemuruh sorak kaum pendukung
bersahut sahut pekik menggaun
sini teriak sana menyalak
sini teriak sana menyalak
berkacak pinggang tampakkan galak
tangan mengepal mata membelalak
bersuara kencang bikin pekak
satu mencibir yang lain nyinyir
abaikan nalar lalaikan pikir
saling hujat berbalas sindir
berbantah ria dalam debat kusir
dahulu kawan sekarang lawan
dahulu kawan sekarang lawan
hari ini lawan esok kawan
hari esok kawan lusa melawan
melawan kawan berkawan lawan
siapa lawan siapa kawan
semata didikte kepentingan
kawan dan lawan sama penting
tiada kawan lawan membanting
tiada lawan kawan menggunting
pagi dilawan sore disunting
siang berkawan malam bertanding
lawan dan kawan sama sinting
kawanmu adalah lawanmu
lawanmu kawanmu jua
tinggallah aku tetap korbanmu
sepanjang masa
Serambi Sajak, 08012018
#####
Notawacana:
Puisi adalah planet baru bagi saya. Menulis maupun membacanya.
Sedikit teknik membaca puisi pernah saya pelajari. Lewat buku dan diskusi. Tapi bekal itu tak pernah membuat saya bernyali. Untuk tampil sebagai pembaca puisi. Di panggung kompetisi atau ekshibisi. Sekadar menikmati puisi sih saya suka. Dengan membaca dalam hati. Beberapa--ya, hanya beberapa--buku kumpulan puisi ada. Di rak buku. Di rumah. Sejak masih indekos, mengontrak, hingga tinggal di rumah utangan.
Ilmu menulis puisi? Sama sekali. Belum pernah saya merabanya. Apalagi menjamahnya. Yang aneh, saya sering "mengajar" menulis puisi. Itu karena terpaksa. Kurikulum yang memaksa. Bagaimana saya mengajar? Wong belum pernah mengalami? Saya suruh saja anak-anak menulis. Sejadi-jadinya. Dan semua saya beri acungan jempol. Termasuk puisi satu baris. Yang proses produksinya memakan waktu dua jam pelajaran. Jempol beneran. Bukan gambar jempol. Seperti yang marak di aneka media sosial.
Tanpa contoh karya gurunya? Tak. Belajar terbaik itu dengan mengalami sendiri. Lalu menemukan pengalaman baru. Lalu berani berkreasi. Menciptakan pengalaman baru lagi. Tidak takut dibilang mengkhianati peran guru? Yang keratabasa-nya: di-gugu dan ditiru? Justru keyakinan saya itu harus digugu. Bahwa setiap anak berhak untuk berkarya. Bahwa setiap karya anak layak untuk diapresiasi. Pun gaya saya itu patut ditiru. Bahwa menjadi guru tak harus banyak menggurui.
Akhirnya waktunya tiba. Saya mulai berkenalan dengan penulisan puisi. Pengalaman baru. Efek bermedia sosial.
Salah seorang teman di Facebook. Yang ternyata teman sekolah saya dulu. Suka mengunggah puisi (berbahasa Indonesia) dan gurit (berbahasa Jawa). Bagus semua. Menurut saya. Amat magis. Pilihan kata-katanya. Seorang teman yang lain rajin menulis di blognya. Lalu dibagikan tautannya ke Facebook. Sebagian besar isinya puisi dan gurit. Teman kedua--kakak kelas saya di sekolah yang sama dengan teman yang pertama--ini lebih melejit. Puisi-puisinya bertebaran di sejumlah media massa. Di samping diterbitkan dalam bentuk buku. Sering pula menjadi juara. Di banyak ajang lomba menulis.
Kepada keduanya saya tawarkan pertemanan. Masih di Facebook. Hingga terbentuk grup belajar menulis. Di WhatsApp. Di sinilah saya mulai belajar. Menulis puisi. Bersama belasan teman. Yang tak lagi pernah bertemu. Hampir tiga dasawarsa. Bahkan, beberapa tak saling kenal. Secara personal. Karena lupa. Atau memang dulunya tidak pernah saling sapa.
Tembe Krasa #3 (Cerkak)
Ora krasa wis kliwat Nguter. Nyumurupi plengkung “Selamat Datang” ing gapura kikis kabupatèn, kaya disengkakaké anggoné Pak Didik...